jam dan tanggalan

Super Mario Game

peta Ngayogyakarta

Selasa, 12 Mei 2009

Ulasan mengenai Reformasi 1998

Hari ini, Rabu, 21 Mei 2008, tepat sepuluh tahun gerakan reformasi bergulir. Sudah sepatutnya kita semua, bangsa Indonesia merefleksi kembali perjalanan reformasi yang telah menapaki satu dasa warsa ini dengan pikiran jernih, disertai kujujuran untuk menjawab sebuah pertanyaan bersama (common question), apakah niat suci reformasi masih ada dalam diri kita? Ataukah niat tersebut telah ternodai oleh kepentingan-kepentingan pribadi kita?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita sejenak melihat kondisi riil bangsa Indonesia saat ini. Dari kenyataan tersebut, nanti kita akan dapat menyimpulkan sendiri jawaban atas pertanyaan di atas.
Kalau kita cermati, tampaknya labilitas kondisi bangsa Indonesia masih terus berlanjut. Berbagai persoalan melingkupi hampir seluruh sendi kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan pelbagai sendi kehidupan lainnya yang semakin menambah panjang derita bangsa ini.

Persoalan-persoalan sosial, seperti konflik horisontal bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), maraknya peredaran narkoba, tingginya angka kriminalitas, meningkatnya jumlah pengangguran, eksploitasi sekaligus kekerasan terhadap anak di bawah umur, menjamurnya perjudian dan prostitusi, serta berbagai masalah sosial lainnya menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat negeri ini.

Di bidang budaya, krisis identitas tengah melanda bangsa ini. Bangsa yang dulu dikenal dengan sopan santunnya, adat ketimurannya, serta nilai-nilai agamanya, kini seakan-akan tidak peduli lagi dengan seperangkat nilai-nilai normatif, baik yang terdapat dalam sebuah masyarakat, lebih-lebih yang diajarkan oleh agama. Hal ini bisa dilihat, misalnya, maraknya pornografi dan pornoaksi dianggap suatu hal yang biasa. Beredarnya koran, tabloid, serta majalah “kuning” tidak dianggap sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan masa depan bangsa. Merebaknya tayangan film, sinetron, musik, bahkan iklan yang mengumbar sensualitas, pamer aurat serta eksploitasi tubuh kaum hawa, bahkan belakangan juga kaum adam, sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat negeri ini.

Kenyataan yang tidak jauh berbeda, bahkan yang sangat dirasakan oleh masyarakat negeri ini adalah berkaitan dengan masalah ekonomi. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok seiring rencana pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), serta ulah para pejabat di pelbagai instansi pemerintah yang masih melanggengkan praktek korupsi semakin menyengsarakan rakyat banyak.

Di sisi lain, kehidupan politik pun tidak kalah memprihatinkan. Kebebasan berpendapat dalam menyuarakan aspirasi rakyat sedikit demi sedikit dibungkam. Tindakan represif aparat dengan menangkapi para demonstran yang, tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan semakin menunjukkan sikap angkuh pemerintah, sekaligus membuka mata kita bahwa pemerintah belum dewasa dalam berpolitik. Di samping itu, yang lebih ironis adalah sikap para anggota dewan, yang tanpa risih dan malu lagi, beberapa waktu lalu rame-rame menuntut kenaikan tunjangan.

Harapan terakhir bangsa ini adalah pada penegakan supremasi hukum. Ironisnya, hukum yang tujuannya untuk memberikan keadilan sosial untuk semua (social justice for all), saat ini justru dapat dieksploitasi sesuai dengan cita rasa kekuasaan. Para eksploitator dengan seenaknya menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan mereka.

Institusi pengadilan seolah-olah impoten (baca: tidak berdaya) dalam menjalankan tugasnya. Ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang menyangkut para pejabat tinggi (white collar crime) dibiarkan menguap begitu saja tanpa ada kejelasan mengenai sanksi hukumnya.

Upaya mencari problem solving atas berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah suatu hal yang mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ironisnya, sikap dan perilaku para pejabat negara tidak mencerminkan adanya keprihatinan terhadap persoalan yang sudah sedemikian peliknya.

Alih-alih mencari solusi atas berbagai persoalan yang melanda bangsa ini, para pejabat justru hanya berpikir bagaimana bisa “survive” di tengah situasi ekonomi yang sulit ini. Lebih mengenaskan lagi, perilaku para wakil rakyat pun setali tiga uang. Mereka yang notabene “wujud” dari suara rakyat seakan acuh tak acuh menghadapi berbagai problematika yang menimpa rakyat. Mereka sibuk ‘memenuhi’ pundi-pundi keluarga masing-masing. Sementara aspirasi-aspirasi rakyat yang disampaikan kepada mereka seolah menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan kapan aspirasi tersebut dipenuhi.

Kenyataan ini, mengingatkan penulis pada sebuah adagium politik cukup klasik, yang diungkapkan oleh Lord Acton, ia mengatakan, ‘power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely’. Kekuasaan cenderung bertindak korup, dan kekuasaan yang mutlak cenderung berbuat korup secara mutlak pula. Fenomena inilah, tampaknya, yang sedang melanda bangsa Indonesia saat ini.

Kondisi bangsa yang semakin terpuruk ini, hendaknya menyadarkan pemerintah serta para pejabat negara untuk menata kembali niat suci reformasi yang sudah diselewengkan dari tujuan yang sesungguhnya. Agenda reformasi berupa pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perbaikan sistem ekonomi, penataan kembali sistem politik, serta penegakan supremasi hukum perlu segera dilaksanakan.

Hal ini penting, karena selama bangsa Indonesia, lebih-lebih pemerintah dan para pejabat negara belum bisa menanggulangi KKN, serta masih membiarkan terbengkalainya pelbagai macam “pekerjaan rumah” yang ditinggalkan oleh pemerintah sebelumnya, maka sesungguhnya slogan-slogan reformasi itu hanya akan menjadi slogan kosong belaka, tanpa pernah ada realisasinya.

Dengan demikian, makna suci reformasi mengalami pendistorsian dari makna yang sesungguhnya. Keenyataan ini, jika dibiarkan berlarut-larut akan berimplikasi negatif bagi proses reformasi yang tengah dibangun. Lebih jauh, hal ini akan merusak tujuan reformasi yang sesungguhnya.

Untuk mengembalikan roda reformasi pada porosnya, kemudian meletakkannya pada rel yang sesungguhnya, dibutuhkan political will serta kedewasaan bersikap dari segenap elemen bangsa. Rakyat, pemerintah, elite politik, serta seluruh instrumen penyelenggara negara hendaknya bersikap dewasa, baik dalam berpikir maupun bertindak. Sehingga segala permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik melalui proses berpikir jernih dengan cara-cara penyelesaian yang positif dan damai. Sehingga, dengan demikian win-win solution akan menjadi hasil akhir yang menguntungkan semua pihak.

Sumber: didijunaedihz.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar